Sabtu, 03 Desember 2016

Review Pementasan TED dengan lakon Death Of Salesman



Kemarin malam 8 Maret 2016 tepat pukul 7 malam Theatre Of English Department mempersembahkan sebuah lakon berjudul Death Of Salesman yang di Sutradarai oleh salah satu Mahasiswa Prodi Bahasa Inggris ini, yang pada pementasan sebelumnya mereka telah menampilkan lakon Sweeny Todd dengan sangat baik.

Penulis dari naskah yang mereka mainkan adalah Arthur Miller, seorang penulis dan juga pemain drama yang lahir di New York pada tahun 1915. Alasan TED memainkan naskah ini karena novel The Death of Salesman sudah dikenal di mata dunia. Dan sudah sering di pentaskan di Broadway. Pentas ini berhasil menceritakan tentang tragedy besar di Amerika.
Sekilas sinopsis, lakon ini berkisah tentang seorang salesman tua yang sudah tidak produktif lagi dalam menggaet pembeli dan mengalami konflik batin tingkat akut sehingga terlalu banyak melamun  sampai seolah-olah lamunan dan kenyataan sudah saling mempenetrasi. Sering setiap kali ia mendapatkan kesempatan sendiri ia gunakan untuk merenung, lamunan langsung menyerangnya.

Death of Salesman adalah sebuah cerita tentang tragedy social dan juga individu yang menunjukkan perubahan pada budaya. Hal ini dapat dilihat dari tokoh utama dalam cerita ini, Willy. Ia merupakan salah satu dari kelompok kelas menegah neurotic yang terjebak di sebuah kota besar dengan mimpi-mimpinya.

Drama tersebut menyajikan bentrokan dramatis antara  mimpi dan kenyataan. Willy, seorang yang memiliki pemikiran jauh dari realita. Ia mencoba untuk menyarankannya anaknya, biff, untuk mengikuti alur mimpi-mimpi Willy. Menjadi seorang salesman sukses.
Ketika perlahan ia mulai mendekati realitas buruk di dalam kehidupannya, Willy tidak pernah menyadari bahwa akan ada fakta menyakitkan yang merubah keadaan keluarganya.
Namun, fakta buruk terjadi. Willy merasa kehilangan segala kehormatannya di hadapan anaknya. Suatu hari, Biff melihat seorang wanita dikamar Willy. Biff pun sangat terkejut dan kecewa terhadap apa yang diperbuat oleh ayahnya.

Willy menyesalkan atas semua yang sudah terjadi. Dia pun masih menyimpan rapat-rapat rahasianya ini. Hanya Biff dan dirinya lah yang tahu. Disisi lain Biff pun tak ingin menceritakan kepada siapapun atas apa yang sudah diketahuinya tentang keburukan ayahnya. Biff merasa seperti mengkhianati ibunya karena tidak menceritakan hal ini. Namun, Biff pun tidak ingin hubungan kedua orang tuanya tidak harmonis karena ini. Selain dia gagal menjadi seorang salesman sukses, dia juga gagal menjadi seorang ayah yang baik buat anak-anaknya. Ketika dia tahu bahwa ada yang berubah pada diri Biff, dia menjadi frustasi. Dan Willy pun menyadari bahwa bukan karena kepribadian menarik dari seseorang, tetapi uang yang menjadikan manusia disukai di masyarakat.

Disisi lain, Happy, anak kedua dari Willy, memperhatikan gerak – gerik ayahnya tsb. Dia merasa ada yang aneh dengan ayahnya karena Willy sering berbicara tidak jelas pada dirinya sendiri. Happy mengkhawatirkan keadaan ayahnya.

Kedua anak Willy mengerti dan memahami akan semua kondisi yang dialami ayahnya. Tetapi Willy seolah tak ingin menyadari keterpurukannya. Dia tetap berusaha memperlihatkan pada anak-anaknya, dan juga istrinya jika dia masih tetap kaya. Walaupun faktanya Willy sudah tidak memiliki harta yang bisa diwariskan pada mereka.

Klimaks dari cerita ini pun terjadi. Kegagalan Willy untuk mengenali cinta yang ditawarkan kepadanya hanya lah siksa batin. Dalam fikiran Willy, tidak adanya pengetahuan diri yang dia miliki, menjadikan dia untuk mencapai hasil yang nyata dari semua ketidaksuksesannya tsb.  Dalam semua angannya, tidak ada yang bisa terwujud. Dan akhirnya dia berusaha untuk bunuh diri. Dengan cara ini lah dia mengakhiri semuanya.

Saya cukup kecewa dengan pementasan kali ini karena ada banyak detail yang hilang dari pentas sebelumnya.


Untuk setting panggung saya kurang menikmatinya karena mereka menggunakan konsep yang sama yaitu menggunakan panggung atas dan bawah terkesan rumah bertingkat. Namun posisi yang mereka gunakan hampir mirip dengan pentas sebelumnya.

Di bagian lighting ada beberapa adegan yang warna lampunya tidak sesuai. Kemudian aktor kurang peka dengan keberadaan lampu, sehingga sering wajah mereka tidak terlihat karena gelap.

Untuk makeup panggung para aktor tidak terlihat natural karena makeup yang kurang rata, terlalu putih dan tidak menjamah bagian leher juga tangan hanya fokus dimuka saja sehingga menyebabkan seperti hantu. Makeup karakter pada aktor perempuan belum sesuai dengan umurnya yang tua, karena dia masih terlihat cukup muda .

Kemudian kostum yang mereka gunakan cukup sesuai dengan naskah bahkan pementasan teater di america, namun kostum tokoh utama kurang bervariasi karena terkadang kostum dengan suasana adegan tidak sesuai.  Ketika willy dan istrinya berada di luar rumah mereka menggunakan sendal hotel, mungkin akan lebih indah jika mereka menggunakan sendal biasa.

Disetiap adegan mereka menggunakan rekaman instrumental dan gitar. Saya sangat menyayangkan ketika musik pendukung sering tidak muncul, yang menyebabkan adegan penting terlewat begitu saja tanpa ada penekanan atau pendukung. Hal itu membuat alur pementasan begitu datar.

Untuk keseluruhan isi adegan saya tidak tahu kenapa mereka diluar ekspektasi saya. Mereka hanya mengobrol dan memainkan intonasi saja. Terlalu monoton karena tidak ada adegan spesial. Tidak seperti pentas sweeny todd yang memiliki titik-titik klimaks dan antiklimaksnya. Sepanjang pementasan sering saya tidak paham kapan pergantian suasana atau waktunya, berganti begitu saja tanpa ada pengubahan setting atau penjelasan.

Suara dan sikap dari karakter linda si perempuan tua tidak menggambarkan umurnya cukup timpang jika dibandingkan dengan willy. Bisnis acting para aktor agak monoton, seperti contohnya mereka sering menaruh tangan dikantong dan minum air, begitu terus berulang.
Pergantian adegan sangat lama kira-kira sekitar 4 menitan lampu redup namun memang tetap ada sedikit musik pelan megiringi dan lampu yang remang.

Akan tetapi tidak dipungkiri saya begitu mengagumi tokoh utama Willy, kekonsistennan beractingnya membuatnya terlihat sangat natural, tidak seperti dibuat-buat. Juga cara berdialog para aktor yang sangat baik, artikulasi yang cukup jelas, intonasi yang baik, dan accent yang pada porsinya atau tidak berlebihan.

Untuk menutup, tanpa mengurangi rasa hormat, saya secara pribadi meminta maaf yang sebesar-besarnya kepada keluarga besar TED karena  mungkin saya terkesan begitu lancang atau terlihat sok tahu. Namun saya hanya ingin menyampaikan unek-unek keluh kesah saya sendiri. Saya sangat berharap mendapatkan kesempatan lagi untuk menonton pentas TED selanjutnya dengan konsep yang lebih segar.

Terimakasih, salam budaya


Talitha Shabrina

Tidak ada komentar:

Posting Komentar