Sabtu, 03 Desember 2016

Review pementasan Monolog 3Perempuanku. Bukan bunga bukan lelaki.




Monolog? setiap mendengar kata itu selalu muncul rasa penasaran yang amat dalam dibenak saya. Bagaimana bentuknya? Ada berapa aktornya? Bagaimana cara memainkannya? Apa berbeda dengan pementasan Teater? Dan Monolog 3Perempuanku ini adalah pementasan Monolog pertama yang saya tonton langsung.

Monolog ini menceritakan tentang tiga perempuan berbeda “ kelas sosial”,  Wagiyem, Renata, dan Liza sama- sama menjadi korban poligami seorang lelaki, mantan preman yang kemudian menjadi anggota parlemen di Jakarta. Wagiyo Tirto Hadikusumo, nama anggota parlemen itu “kabur” ke Jakarta meninggalkan Wagiyem selama 10 tahun, yang akhirnya Wagiyem menjadi buruh cuci dikampungnya. Ketika menetap di Jakarta , Tirto Alias Wagiyo menikahi Renata, seorang perempuan kota lulusan sekolah luar negeri. Renata tak punya daya untuk menolak Tirto karena rayuan ayahnya yang mengiming-imingkan Renata akan menjadi pejabat. Namun disitulah awal mula penderitaan Renata, ia tahu bahwa Tirto sudah memiliki istri di kampung dan wanita simpanan, ia menyadari suaminya sudah jarang pulang. Sementara Liza adalah perempuan bercita-cita sederhana, hanya ingin menjadi penyanyi dangdut berkelas nasional dengan memiliki album. Cita-cita itulah yang di plintir Wio (Wagiyo) untuk menjanjikan album, dengan syarat mereka harus menikah. Ketiga perempuan berbeda latar belakang itu tidak bodoh, mereka mencium ada yang tidak benar dengan perilaku laki-laki yang mengabaikan mereka. Pun mereka tidak buta isu yang berkembang di masyarakat, ada pejabat yang memakai jam berharga miliaran rupiah, dan yang bertemu Donal di Amerika.


Pementasan dimulai. Layar perlahan naik membuka panggung. Tiba-tiba mata saya tidak ingin berkedip satu detikpun melihat settingan panggung yang sangat-sangat membuat saya kagum, tidak berhenti mata ini menyusuri setiap detail panggungnya “saya jatuh cinta”.

Setting panggung menggambarkan 3 rumah dengan konsep setiap rumah mencerminkan derajat para pemainnya. Modern and simple.

Rumah Renata : ruang tamu, bunga, boneka sofa mini dan meja yang modern
Rumah Wagiyem : beberapa ember dan gilasan untuk mencuci
Rumah Liza : ruang tamu ala kos-kosan dengan meja, bucket bunga dan kursi panjang
Yang paling menarik hati adalah mereka menggunakan Video Maping untuk latar panggung. Menurut saya ini adalah angin segar dalam satu pementasan, menyesuaikan dengan keadaan zaman atau bisa saya sebut “ tidak kaku” perinterpretasiannya.

Belum sampai disini decak kagum saya. Saya sangat terkejut ketika layar naik sampai atas. Dan disanalah para pemusik bermain. Panggung diatas panggung? Wow.
Lightingnya juga tidak kalah kerennya, porsinya pas untuk setiap adegannya. Saya seperti  ada di acara festival-festival musik ketika Dewa Budjana turun panggung dan memainkan gitar melodinya.


Jika dilihat dari segi naskah, isinya sangat menarik dan penuh dengan sindiran-sindiran pada para pemimpin negeri ini.

"Maju-maju partaiku, sejahtera anggotanya'. Anggotanya? Bukan rakyatnya ya?" Renata, bertanya kepada teman di telepon tentang lagu yang harus mereka nyanyikan di Munas.

Monolog tanpa interaksi dari ketiga tokohnya ini membuat para pemain dapat mengeksplorasi peran masing-masing.


Wagiyem, muncul sebagai seorang buruh cuci berbadan gemuk, berlogat ngapak juga cadel R yang menurut saya dia sama sekali tidak terlihat ‘berpura-pura’ dipanggung. Lalu Renata, seorang wanita sosialita cantik berkelas, dengan pembawaan gaya bicara seperti pejabat yang muncul dengan membawa banyak belanjaan. Sementara Liza Sasya, muncul dengan karakter khasnya yaitu goyangan galau dan desahan genit dalam setiap katanya, warna suara serta cengkok dangdut yang indah melengkapi kesempurnaan actingnya.



Namun dari ketiga pemain diatas yang menurut saya sangat berkarakter adalah Wagiyem( Innaya) dan Liza ( Happy Salma), mereka mampu berinteraksi dengan penonton juga mengajak penonton untuk tertawa setiap menitnya. Saya tidak merasakan kesan “mereka berusaha melucu dan sangat ingin ditertawakan”.

Dari segi cerita, kita diajak untuk bercermin pada kehidupan kita, khususnya para wanita, kenyataan yang mungkin sudah pernah kita lihat, dengar dan rasakan.

Adegan terakhir ditutup dengan monolog satu persatu menyampaikan pesan dan peringatan untuk kita semua. Mereka tidak ingin perempuan menjadi korban dalam kasus korupsi, perempuan bisa menjadi pilar dalam memberantas korupsi.

"Jangan sampai ada Wagiyem, Renata dan Liza yang lain."


Saya masih sangat awam dalam dunia Teater, Review ini saya tulis sebagai kesan pertama saya terhadap monolog, dan Rangga Riantiarno sebagai sutradara juga para aktor berhasil membuat saya terkagum-kagum pada Monolog, #3PEREMPUANKU, Bukan Bunga Bukan Lelaki.

Selamat atas pementasannya. Semoga saya masih bisa menikmati pertunjukan Monolog yang luar biasa.

Salam Budaya

Talitha Shabrina

Tidak ada komentar:

Posting Komentar