Monolog? setiap mendengar kata itu selalu muncul rasa
penasaran yang amat dalam dibenak saya. Bagaimana bentuknya? Ada berapa
aktornya? Bagaimana cara memainkannya? Apa berbeda dengan pementasan Teater?
Dan Monolog 3Perempuanku ini adalah pementasan Monolog pertama yang saya tonton
langsung.
Monolog ini menceritakan tentang tiga perempuan berbeda “
kelas sosial”, Wagiyem, Renata, dan Liza
sama- sama menjadi korban poligami seorang lelaki, mantan preman yang kemudian
menjadi anggota parlemen di Jakarta. Wagiyo Tirto Hadikusumo, nama anggota
parlemen itu “kabur” ke Jakarta meninggalkan Wagiyem selama 10 tahun, yang
akhirnya Wagiyem menjadi buruh cuci dikampungnya. Ketika menetap di Jakarta ,
Tirto Alias Wagiyo menikahi Renata, seorang perempuan kota lulusan sekolah luar
negeri. Renata tak punya daya untuk menolak Tirto karena rayuan ayahnya yang
mengiming-imingkan Renata akan menjadi pejabat. Namun disitulah awal mula
penderitaan Renata, ia tahu bahwa Tirto sudah memiliki istri di kampung dan
wanita simpanan, ia menyadari suaminya sudah jarang pulang. Sementara Liza
adalah perempuan bercita-cita sederhana, hanya ingin menjadi penyanyi dangdut
berkelas nasional dengan memiliki album. Cita-cita itulah yang di plintir Wio
(Wagiyo) untuk menjanjikan album, dengan syarat mereka harus menikah. Ketiga
perempuan berbeda latar belakang itu tidak bodoh, mereka mencium ada yang tidak
benar dengan perilaku laki-laki yang mengabaikan mereka. Pun mereka tidak buta
isu yang berkembang di masyarakat, ada pejabat yang memakai jam berharga
miliaran rupiah, dan yang bertemu Donal di Amerika.
Pementasan dimulai. Layar perlahan naik membuka panggung. Tiba-tiba mata saya tidak ingin berkedip satu detikpun melihat settingan panggung yang sangat-sangat membuat saya kagum, tidak berhenti mata ini menyusuri setiap detail panggungnya “saya jatuh cinta”.
Setting panggung menggambarkan 3 rumah dengan konsep setiap
rumah mencerminkan derajat para pemainnya. Modern
and simple.
Rumah Renata : ruang tamu, bunga, boneka sofa mini dan meja
yang modern
Rumah Wagiyem : beberapa ember dan gilasan untuk mencuci
Rumah Liza : ruang tamu ala
kos-kosan dengan meja, bucket bunga dan kursi panjang
Yang paling menarik hati adalah mereka menggunakan Video
Maping untuk latar panggung. Menurut saya ini adalah angin segar dalam satu
pementasan, menyesuaikan dengan keadaan zaman atau bisa saya sebut “ tidak
kaku” perinterpretasiannya.
Belum sampai disini decak kagum saya. Saya sangat terkejut
ketika layar naik sampai atas. Dan disanalah para pemusik bermain. Panggung
diatas panggung? Wow.
Lightingnya juga tidak kalah kerennya, porsinya pas untuk
setiap adegannya. Saya seperti ada di
acara festival-festival musik ketika Dewa Budjana turun panggung dan memainkan
gitar melodinya.
Jika dilihat dari segi naskah, isinya sangat menarik dan penuh dengan sindiran-sindiran pada para pemimpin negeri ini.
"Maju-maju partaiku, sejahtera anggotanya'. Anggotanya?
Bukan rakyatnya ya?" Renata, bertanya kepada teman di telepon tentang lagu
yang harus mereka nyanyikan di Munas.
Monolog tanpa interaksi dari ketiga tokohnya ini membuat para pemain dapat mengeksplorasi peran masing-masing.
Monolog tanpa interaksi dari ketiga tokohnya ini membuat para pemain dapat mengeksplorasi peran masing-masing.
Wagiyem, muncul sebagai seorang buruh cuci berbadan gemuk, berlogat ngapak juga cadel R yang menurut saya dia sama sekali tidak terlihat ‘berpura-pura’ dipanggung. Lalu Renata, seorang wanita sosialita cantik berkelas, dengan pembawaan gaya bicara seperti pejabat yang muncul dengan membawa banyak belanjaan. Sementara Liza Sasya, muncul dengan karakter khasnya yaitu goyangan galau dan desahan genit dalam setiap katanya, warna suara serta cengkok dangdut yang indah melengkapi kesempurnaan actingnya.
Namun dari ketiga pemain diatas yang menurut saya sangat
berkarakter adalah Wagiyem( Innaya) dan Liza ( Happy Salma), mereka mampu
berinteraksi dengan penonton juga mengajak penonton untuk tertawa setiap
menitnya. Saya tidak merasakan kesan “mereka berusaha melucu dan sangat ingin
ditertawakan”.
Dari segi cerita, kita diajak untuk bercermin pada kehidupan
kita, khususnya para wanita, kenyataan yang mungkin sudah pernah kita lihat,
dengar dan rasakan.
Adegan terakhir ditutup dengan
monolog satu persatu menyampaikan pesan dan peringatan untuk kita semua. Mereka
tidak ingin perempuan menjadi korban dalam kasus korupsi, perempuan bisa
menjadi pilar dalam memberantas korupsi.
Saya masih sangat awam dalam dunia
Teater, Review ini saya tulis sebagai
kesan pertama saya terhadap monolog, dan Rangga Riantiarno sebagai sutradara
juga para aktor berhasil membuat saya terkagum-kagum pada Monolog,
#3PEREMPUANKU, Bukan Bunga Bukan Lelaki.
Salam Budaya
Talitha Shabrina
Tidak ada komentar:
Posting Komentar