Sabtu, 03 Desember 2016

Review Pementasan Jupri dan Bajak Laut oleh Teater Castra Mardika


Kebudayaaan dalam suatu bangsa akan berkembang dengan seiringnya perubahan zaman, dari kebudayaan tradisional ke peralihan sampai akhirnya menjadi budaya yang modern. Pergesaran kebudayaan ini disebabkan oleh banyak hal seperti adanya globalisasi yang menyebar luas . Akan tetapi bukan berarti kita menutup diri rapat-rapat dari kebudayaan luar, kita hanya perlu melakukan penyaringan atau pemilihan  terhadap budaya luar tersebut sehingga sesuai dengan kepribadian bangsa kita.
Suatu contoh akibat globalisasi yang paling nyata yaitu ibukota Indonesia, Jakarta. Jakarta dulu merupakan kota yang kental akan budaya betawi, namun sekarang sudah jarang ditemui kebudayaan betawi di Jakarta seperti lenong salah satu contohnya. Meskipun sudah sedikit peminatnya, Teater yang berasal dari UKM UNJ ini masih berusaha untuk melestarikan budaya betawi dengan menampilkan Teater yang berjudul Jupri dan Bajak Laut.
Sebelumnya saya belum pernah menyaksikan pementasan yang di persembahkan oleh Teater Castra Mardika, maka dari itu ketika saya mendapatkan broadcast dimana isi pesan tersebut memberitahukan pada 30 November 2016 akan ditampilkan sebuah pementasan teater dari teater tersebut. Rasa penasaran saya bertambah ketika saya melihat latihan mereka di teater terbuka UNJ. Begitu lihai mereka melatih tubuhnya dan sempat beberapa kali blocking. Dan alhamdulillah saya akhirnya menonton mereka diatas panggung yang cukup megah di sebuah gedung pertunjukkan Mis Tjitjih Jakarta.
Pementasan dimulai pukul 7.30 malam waktu setempat, kemudian terdengar suara berat menyambut penonton dan mempersilahkan penonton untuk menikmati pertunjukkan. Lampu kemudian mati, dan tidak lama menyala kembali, beberapa orang dengan baju berwarna hitam keluar dari backstage sebelah kiri, mereka adalah para pemusik. Suara tepuk tangan penononton mulai memecah ruangan yang tadinya sunyi dan pementasan pun dimulai.
Musik betawi tiba-tiba berbunyi dengan suara sound yang keras, kemudian lampu menyala warna-warni untuk menyambut para aktor keluar. Mereka muncul berbaris layaknya paskibra dari 4 sisi pangung yang berbeda berjalan membentuk sebuah blocking yang indah. Pembukaan yang sangat menakjubkan, menghibur para penonton yang lelah seharian dengan rutinitasnya. Suara musik yang semangat seraya menyemangati para aktor diatas panggung di kombinasikan dengan lampu-lampu berkelap-kelip yang menjadikan warna kostum yang mereka pakai terlihat.
Tiba-tiba keluarlah sosok yang mungkin sudah tidak asing bagi kita yang sering menonton televisi, yaa, dia adalah alumni UKM UNJ yang membentuk sebuah group lawak bernama Cagur, Narji namanya. Dipementasan kali ini beliau menjadi seorang dalang. Ia menceritakan asal-usul cerita tersebut, setelah selesai tanpa basa-basi ia berkata “Kembali ke Tee Pee Uuu”, biar antimainstream ucapnya kalau dia menyebutnya ‘kembali ke TKP’.
Lakon Jupri dan bajak laut menceritakan seorang yang lahir ditanah betawi bernama Jupri yang ternyata ia seorang keturunan China. Jupri murid pindahan yang sekarang disekolahkan, gurunya dipanggil oleh murid-muridnya dengan sebutan Kangguru. Sayangnya Jupri malah bermalas-malasan dikelas, ia tertidur pulas dalam pelajaran pencarian arah mata angin. Setelah selesai sekolah ibunya datang untuk memberitahukan bahwa ayahnya telah meninggal. Sebelum meninggal ayahnya menuliskan wasiat kepada Jupri agar anaknya mengambil harta warisan yang ia tinggalkan di kota Ceribon. Akhirnya Jupri mulai menjelajah pulau jawa untuk menuju kota Ceribon, namun sayang seribu sayang, ia tak tahu arah yang dituju karena tertidur di pelajaran arah mata angin, ia pun tersasar. Lelaki dengan logat betawinya yang kental itu bertemu wanita cantik bernama Edith, dia seorang bajak laut, singkat cerita edit mengetahui bahwa Jupri ingin mencari harta warisan ayahnya, edithpun tergiur dengan harta warisan tersebut, akhirnya edith memanfaatkan kedekatannya dengan Kapten ketek grondrong seorang kapten dikapal agar Jupri dapat menumpang dikapalnya. Sempat ada beberapa perhelatan hebat dikapal akibat keputusan edit dan kapten namun semua terselesaikan dengan baik.

Cerita yang cukup menarik, namun ada beberapa hal yang ingin saya sampaikan setelah menonton pementasan tersebut. Saya merasakan sedikit tidaknyaman ketika musik yang dimainkan untuk menyambut celetukkan dalang terus diulang-ulang. Meskipun begitu suara sound yang keras dan alunan musik betawi yang dimainkan secara live membuat saya terhibur.
Saya tidak begitu menyukai suasana adegan dalang bercerita, ketika lampu semua padam dan tersisa lampu sorot berwarna kekuningan. Saya merasa kurang asik untuk permainan warnanya, panggung tersebut lebih terlihat rumah yang sedang mati lampu dimana dalang membawa lilin ketengah panggung. Kemudian untuk sebuah pementasan terkadang kita memang harus mengikuti perkembangan zaman, dan ini adalah teater ke 3 yang pernah saya nikmati, mereka menggunakan infocus bergambarkan hutan untuk latar panggung dengan sedikit sentukan pohon yang telah ditebang di sisi kanan panggung. Di adegan kedua, mereka tidak menggunakan infocus tetapi panggung diisi dengan barang-barang seraya sedang diatas kapal. Kemudian di scene ketiga mereka kembali menggunakan infocus dengan gambar bendara bintang dan udang yang menunjukkan ke khasan kota Ceribon.

Makeup adalah salah satu bagian penting dalam sebuah pementasan, ketika para pemain tidak memakai hiasan diwajah rasanya pementasan seperti kurang lengkap seperti yang saya rasakan ketika melihat Dalang. Selain itu sentuhan makeup juga menguatkan karakter para aktor namun saya kurang setuju dengan pemilihan warna yang digunakan dalam pementasan ini, warna dasar yang digunakan terlalu putih seperti memakai pidi, lalu countouring di pipi terlihat kurang natural. Adapun makeup karakter laki-laki tua yang digunakan kangguru dan bajak laut tidak natural karena mungkin tidak di blended. Saya juga sedikit bingung untuk penggunaan make up ibu jupri terlihat seperti geisha, menurut saya akan terlihat lebih realis jika wajahnya diberi sentuhan make-up cantik dan sedikit sentuhan eyeliner agar terlihat sipit.
Ragam baju yang eye catching terlihat bagus karena warnanya yang beragam, cerah, dan lucu. Beberapa baju bajak laut tidak terlalu kuno dan antimainstream mengikuti perkebmbangan zaman.
Pada saat pengadeganan saya rasa ada beberapa aktor yang tidak seharusnya dimainkan, karena mereka sangat kaku. Saya juga sangat notitce kepada Kangguru karena ia sering melakukan pengulangan yang membuat dialog tersebut agak jayus. Dalam sebuah pementasan memang kita tidak pernah luput dari kesalahan seperti Ibu jupri tiba-tiba masuk kedalam panggung tanpa motivasi, lalu adegan ketika jupri membaca wasiat dari ayahnya, surat yang dibacanya sudah diputar sampai bawah tetapi belum habis isi surat tersebut ia malah menarik surat dan membacanya kembali dari atas.
Meskipun begitu saya merasa senang ketika melihat jupri beradegan karena actingnya sangat baik dan luwes. Tapi yang harus saya akui pula pendalaman karakter dari segi warna suara untuk menjadi seseorang yang lahir ditanah betawi kurang kuat. Yang lebih cocok dijadikan Jupri adalah si bajak laut karena warna suaranya yang berat dan sedikit serak.
Ditengah pertunjukkan saya menyadari bahwa ada beberapa aktor yang bertanggung jawab memerankan dua karakter, entah apa karena sdm yang kurang atau memanfaatkan aktor dengan sebaik-baiknya. Ketika melihat Edith, dia adalah seorang gadis yang cantik, tinggi dan putih, namun ternyata keaktorannya sangat disayangkan. Dia begitu kaku memainkan setiap dialognya terlebih ketika dia melakukan slowmotition, terlihat sekali bahwa anggota tubuhnya yang hidup hanya kakinya, namun dari pinggang keatas badannya benar-benar kaku. Maka siapapun yang membaca tulisan ini, kalian harus sadar bahwa olah tubuh sangatlah penting untuk menjadi seorang aktor.  Begitupun Qoriah seorang wanita berprofesi sebagai asisten dikapal ini sangat kurang mendalami karakternya, terutama ketika ia sedang duduk-duduk dikapal mendengarkan ceramah sang kapten, ia duduk menyamping bagaikan wanita dari sebuah kerajaan yang berasal dari pulau jawa, mungkin akan lebih baik ketika ia duduk menyila atau mengangkat sebelah kakinya agar terlihat lebih liar, dengan begitu ia akan terkesan seperti seseorang yang memang sudah berpengalaman banyak di laut.
Hal yang saya sadari di penghujung pementasan adalah rasa kantuk yang tak henti-hentinya menyerang saya, mungkin ini akibat dari dialog yang tektoknya lama sehingga membuat pementasan ini terasa sangat lambat dan bisa ditebak adegan-adegan selanjutnya. Dan yang paling mengganggu saya adalah ada banyak adegan-adegan kurang penting seperti si Dalang terlalu berlama-lama dipanggung dengan adegan improvisasi yang  sangat  jayus.
Meskipun begitu saya mengucapkan banyak terimakasih kepada Teater Castra Mardika, karena banyak pelajaran yang dapat saya ambil hikmahnya setelah pementasan tersebut, saya pun sangat menghargai bagaimana Komunitas tersebut masih ingin berusaha melestarikan budaya salah satu kota di Indonesia yaitu Ibu Kota Jakarta. Untuk menutup, tanpa mengurangi rasa hormat, saya secara pribadi meminta maaf yang sebesar-besarnya kepada keluarga besar Castra Mardika karena  mungkin saya terkesan begitu terlihat sok tahu dalam mereview pementasan kali ini. Namun saya hanya ingin menyampaikan beberapa kesan dan untuk mengenang setiap pementasan yang saya hadiri. Sayapun berharap semoga review saya kali ini berguna untuk merefleksi diri agar menjadi lebih baik kedepannya.

Salam Budaya
Talitha Shabrina


Tidak ada komentar:

Posting Komentar