Kebudayaaan dalam suatu bangsa akan berkembang dengan seiringnya perubahan zaman, dari kebudayaan tradisional ke peralihan sampai akhirnya menjadi budaya yang modern. Pergesaran kebudayaan ini disebabkan oleh banyak hal seperti adanya globalisasi yang menyebar luas . Akan tetapi bukan berarti kita menutup diri rapat-rapat dari kebudayaan luar, kita hanya perlu melakukan penyaringan atau pemilihan terhadap budaya luar tersebut sehingga sesuai dengan kepribadian bangsa kita.
Suatu contoh akibat globalisasi yang paling nyata yaitu
ibukota Indonesia, Jakarta. Jakarta dulu merupakan kota yang kental akan budaya
betawi, namun sekarang sudah jarang ditemui kebudayaan betawi di Jakarta
seperti lenong salah satu contohnya. Meskipun sudah sedikit peminatnya, Teater yang
berasal dari UKM UNJ ini masih berusaha untuk melestarikan budaya betawi dengan
menampilkan Teater yang berjudul Jupri dan Bajak Laut.
Sebelumnya saya belum pernah menyaksikan pementasan yang
di persembahkan oleh Teater Castra Mardika, maka dari itu ketika saya
mendapatkan broadcast dimana isi
pesan tersebut memberitahukan pada 30 November 2016 akan ditampilkan sebuah
pementasan teater dari teater tersebut. Rasa penasaran saya bertambah ketika
saya melihat latihan mereka di teater terbuka UNJ. Begitu lihai mereka melatih
tubuhnya dan sempat beberapa kali blocking. Dan alhamdulillah saya akhirnya
menonton mereka diatas panggung yang cukup megah di sebuah gedung pertunjukkan
Mis Tjitjih Jakarta.
Pementasan dimulai pukul 7.30 malam waktu setempat,
kemudian terdengar suara berat menyambut penonton dan mempersilahkan penonton
untuk menikmati pertunjukkan. Lampu kemudian mati, dan tidak lama menyala
kembali, beberapa orang dengan baju berwarna hitam keluar dari backstage
sebelah kiri, mereka adalah para pemusik. Suara tepuk tangan penononton mulai
memecah ruangan yang tadinya sunyi dan pementasan pun dimulai.
Musik betawi tiba-tiba berbunyi dengan suara sound yang
keras, kemudian lampu menyala warna-warni untuk menyambut para aktor keluar. Mereka
muncul berbaris layaknya paskibra dari 4 sisi pangung yang berbeda berjalan
membentuk sebuah blocking yang indah. Pembukaan yang sangat menakjubkan,
menghibur para penonton yang lelah seharian dengan rutinitasnya. Suara musik
yang semangat seraya menyemangati para aktor diatas panggung di kombinasikan
dengan lampu-lampu berkelap-kelip yang menjadikan warna kostum yang mereka
pakai terlihat.
Tiba-tiba keluarlah sosok yang mungkin sudah tidak asing
bagi kita yang sering menonton televisi, yaa, dia adalah alumni UKM UNJ yang
membentuk sebuah group lawak bernama Cagur, Narji namanya. Dipementasan kali
ini beliau menjadi seorang dalang. Ia menceritakan asal-usul cerita tersebut,
setelah selesai tanpa basa-basi ia berkata “Kembali ke Tee Pee Uuu”, biar
antimainstream ucapnya kalau dia menyebutnya ‘kembali ke TKP’.
Lakon Jupri dan bajak laut menceritakan seorang yang
lahir ditanah betawi bernama Jupri yang ternyata ia seorang keturunan China.
Jupri murid pindahan yang sekarang disekolahkan, gurunya dipanggil oleh
murid-muridnya dengan sebutan Kangguru. Sayangnya Jupri malah bermalas-malasan
dikelas, ia tertidur pulas dalam pelajaran pencarian arah mata angin. Setelah
selesai sekolah ibunya datang untuk memberitahukan bahwa ayahnya telah
meninggal. Sebelum meninggal ayahnya menuliskan wasiat kepada Jupri agar
anaknya mengambil harta warisan yang ia tinggalkan di kota Ceribon. Akhirnya
Jupri mulai menjelajah pulau jawa untuk menuju kota Ceribon, namun sayang
seribu sayang, ia tak tahu arah yang dituju karena tertidur di pelajaran arah
mata angin, ia pun tersasar. Lelaki dengan logat betawinya yang kental itu
bertemu wanita cantik bernama Edith, dia seorang bajak laut, singkat cerita
edit mengetahui bahwa Jupri ingin mencari harta warisan ayahnya, edithpun
tergiur dengan harta warisan tersebut, akhirnya edith memanfaatkan kedekatannya
dengan Kapten ketek grondrong seorang kapten dikapal agar Jupri dapat menumpang
dikapalnya. Sempat ada beberapa perhelatan hebat dikapal akibat keputusan edit
dan kapten namun semua terselesaikan dengan baik.
Cerita yang cukup menarik, namun ada beberapa hal yang
ingin saya sampaikan setelah menonton pementasan tersebut. Saya merasakan
sedikit tidaknyaman ketika musik yang dimainkan untuk menyambut celetukkan
dalang terus diulang-ulang. Meskipun begitu suara sound yang keras dan alunan
musik betawi yang dimainkan secara live
membuat saya terhibur.
Saya tidak begitu menyukai suasana adegan dalang
bercerita, ketika lampu semua padam dan tersisa lampu sorot berwarna kekuningan.
Saya merasa kurang asik untuk permainan warnanya, panggung tersebut lebih
terlihat rumah yang sedang mati lampu dimana dalang membawa lilin ketengah
panggung. Kemudian untuk sebuah pementasan terkadang kita memang harus
mengikuti perkembangan zaman, dan ini adalah teater ke 3 yang pernah saya
nikmati, mereka menggunakan infocus
bergambarkan hutan untuk latar panggung dengan sedikit sentukan pohon yang
telah ditebang di sisi kanan panggung. Di adegan kedua, mereka tidak
menggunakan infocus tetapi panggung
diisi dengan barang-barang seraya sedang diatas kapal. Kemudian di scene ketiga mereka kembali menggunakan
infocus dengan gambar bendara bintang dan udang yang menunjukkan ke khasan kota
Ceribon.
Makeup adalah salah satu bagian penting dalam sebuah
pementasan, ketika para pemain tidak memakai hiasan diwajah rasanya pementasan
seperti kurang lengkap seperti yang saya rasakan ketika melihat Dalang. Selain
itu sentuhan makeup juga menguatkan karakter para aktor namun saya kurang
setuju dengan pemilihan warna yang digunakan dalam pementasan ini, warna dasar
yang digunakan terlalu putih seperti memakai pidi, lalu countouring di pipi terlihat kurang natural. Adapun makeup karakter
laki-laki tua yang digunakan kangguru dan bajak laut tidak natural karena
mungkin tidak di blended. Saya juga
sedikit bingung untuk penggunaan make up ibu jupri terlihat seperti geisha,
menurut saya akan terlihat lebih realis jika wajahnya diberi sentuhan make-up cantik
dan sedikit sentuhan eyeliner agar
terlihat sipit.
Ragam baju yang eye
catching terlihat bagus karena warnanya yang beragam, cerah, dan lucu.
Beberapa baju bajak laut tidak terlalu kuno dan antimainstream mengikuti
perkebmbangan zaman.
Pada saat pengadeganan saya rasa ada beberapa aktor yang
tidak seharusnya dimainkan, karena mereka sangat kaku. Saya juga sangat notitce kepada Kangguru karena ia sering
melakukan pengulangan yang membuat dialog tersebut agak jayus. Dalam sebuah
pementasan memang kita tidak pernah luput dari kesalahan seperti Ibu jupri
tiba-tiba masuk kedalam panggung tanpa motivasi, lalu adegan ketika jupri
membaca wasiat dari ayahnya, surat yang dibacanya sudah diputar sampai bawah tetapi
belum habis isi surat tersebut ia malah menarik surat dan membacanya kembali
dari atas.
Meskipun begitu saya merasa senang ketika melihat jupri
beradegan karena actingnya sangat
baik dan luwes. Tapi yang harus saya akui pula pendalaman karakter dari segi
warna suara untuk menjadi seseorang yang lahir ditanah betawi kurang kuat. Yang
lebih cocok dijadikan Jupri adalah si bajak laut karena warna suaranya yang
berat dan sedikit serak.
Ditengah pertunjukkan saya menyadari bahwa ada beberapa
aktor yang bertanggung jawab memerankan dua karakter, entah apa karena sdm yang
kurang atau memanfaatkan aktor dengan sebaik-baiknya. Ketika melihat Edith, dia
adalah seorang gadis yang cantik, tinggi dan putih, namun ternyata keaktorannya
sangat disayangkan. Dia begitu kaku memainkan setiap dialognya terlebih ketika
dia melakukan slowmotition, terlihat sekali bahwa anggota tubuhnya yang hidup
hanya kakinya, namun dari pinggang keatas badannya benar-benar kaku. Maka
siapapun yang membaca tulisan ini, kalian harus sadar bahwa olah tubuh
sangatlah penting untuk menjadi seorang aktor.
Begitupun Qoriah seorang wanita berprofesi sebagai asisten dikapal ini
sangat kurang mendalami karakternya, terutama ketika ia sedang duduk-duduk
dikapal mendengarkan ceramah sang kapten, ia duduk menyamping bagaikan wanita
dari sebuah kerajaan yang berasal dari pulau jawa, mungkin akan lebih baik
ketika ia duduk menyila atau mengangkat sebelah kakinya agar terlihat lebih
liar, dengan begitu ia akan terkesan seperti seseorang yang memang sudah
berpengalaman banyak di laut.
Hal yang saya sadari di penghujung pementasan adalah rasa
kantuk yang tak henti-hentinya menyerang saya, mungkin ini akibat dari dialog
yang tektoknya lama sehingga membuat pementasan ini terasa sangat lambat dan
bisa ditebak adegan-adegan selanjutnya. Dan yang paling mengganggu saya adalah
ada banyak adegan-adegan kurang penting seperti si Dalang terlalu berlama-lama
dipanggung dengan adegan improvisasi yang
sangat jayus.
Meskipun begitu saya mengucapkan banyak terimakasih
kepada Teater Castra Mardika, karena banyak pelajaran yang dapat saya ambil
hikmahnya setelah pementasan tersebut, saya pun sangat menghargai bagaimana
Komunitas tersebut masih ingin berusaha melestarikan budaya salah satu kota di
Indonesia yaitu Ibu Kota Jakarta. Untuk menutup, tanpa mengurangi rasa hormat,
saya secara pribadi meminta maaf yang sebesar-besarnya kepada keluarga besar Castra
Mardika karena mungkin saya terkesan
begitu terlihat sok tahu dalam mereview pementasan kali ini. Namun saya hanya
ingin menyampaikan beberapa kesan dan untuk mengenang setiap pementasan yang
saya hadiri. Sayapun berharap semoga review saya kali ini berguna untuk
merefleksi diri agar menjadi lebih baik kedepannya.
Salam Budaya
Talitha Shabrina
Tidak ada komentar:
Posting Komentar